Foto bersama
Panorama matahari terbenam yang luar biasa. Setelah melewati ribuan purnama, akhirnya Ketua Umum Kill Covid-19 Adharta Ongkosaputra bisa menjejakkan kaki di tanah Papua, tanah para dewa yang diberkati dengan keindahan alam. Mari simak kisahnya!
“Perjalanan ke tanah Papua ini dimulai pada 23 November 2021 lalu. Tentunya masih dalam kondisi pandemi covid-19
melalui udara, setelah mengikuti prokes yang ketat termasuk test PCR H-1 sebelum keberangkatan. Pesawat yang membawa kami lepas landas dari bandara internasional Soekarno – Hatta pada pukul 00.30 WIB,” kenangnya.
Sungguh panorama matahari terbenam yang luar biasa. “Setelah hampir sekian lama, saya tidak pernah bepergian dengan pesawat akibat pandemi yang melanda negara kita Indonesia jadi terasa seperti janggal. Bandara pun tidak terlalu ramai dan banyak gerai di dalam bandara masih tutup,” terangnya.
Diawali, lanjutnya, dengan ucapan syukur dan doa terima kasih, perjalanan dimulai. Lantaran waktu terbang dini hari, jadi Adharta memilih lebih baik memilih tidur selama perjalanan agar terasa fresh. “Alhamdulillah, akhirnya kami mendarat dengan selamat di Bandara DEO – Dominique Edward Oesok di kota Sorong. Bandara yang terlihat kecil tapi tampak megah serta bersih memberikan kesan yang sangat nyaman kepada para penumpang pesawat yang turun melalui garbarata. Thank to AP 1, excellent job!!,” tuturnya.
Adapun Kota Sorong, provinsi Papua Barat tidak terlalu besar, tetapi beragam fasilitas sudah cukup tersedia, mulai dari minimarket modern, departemen store, farmasi, rumah makan dan bahkan ATM serta beragam hotel mulai dari bintang 4 hingga melati.
Adharta menjelaskan bahwa dirinya dan rombongan menyempatkan diri terlebih dahulu untuk sarapan. Dan, lanjutnya, kemudian sebelumnya kami pun harus mengambil uang tunai di kota Sorong atau di bandara sebelum menuju ke pelabuhan Sorong.
Disarankan juga untuk membawa obat-obatan pribadi serta makanan ringan yang bisa dibeli sebelumnya. Termasuk obat malaria. “Perjalanan pun dimulai dari bandara Sorong menuju ke pelabuhan hanya berkisar sekitar 20 menit. Setibanya di pelabuhan Sorong, perahu cepat berkapasitas 20 orang sudah menunggu kami. Dan sebelum menuju ke tempat tujuan, kepulauan Raja Ampat kita harus membayar retribusi sebesar WNI sejumlah Rp 500,000/orang dan turis asing sejumlah Rp1,000,000/orang.
Retribusi tersebut berlaku selama 1 tahun, jadi apabila kalian ingin kembali lagi dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun dengan membawa tiket tersebut, tidak perlu dikenakan biaya lagi.
“Cuaca yang bersahabat dan udara laut yang menyenangkan membuat kami tidak terasa penat. Perjalanan menuju ke pulai Waisai, salah satu pulau terbesar di kepulauan Raja Ampat ditempuh selama 1 jam 15 menit. Pulau-pulau karang yang ditumbuhi hutan lebat yang alami menyambut kami. Begitu perahu cepat kami tiba bersandar didermaga apung, kami disuguhi keindahan bawah laut Raja Ampat. Ribuan ikan warna-warni menyambut kami dengan air lautnya yang begitu jernih sehingga tampak koral serta pasir lautnya yang menawan.,” urainya
Pagi itu, lanutnya, kami tiba di Korpak Villa & Resort yang sekilas tampak seperti resort di kepulauan Maladewa. Udara sejuk menyapa kami melewati dermaga dengan kanan-kirinya air laut dan ikan-ikan beragam rupa berenang dengan tenangnya.
Inilah pulau para dewa. Sungguh ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta yang luar biasa yang bisa kita nikmati dengan gratis. Para penari Papua menyambut kami dengan bersahaja, kepenatan terasa lepas begitu tiba di restoran apung dengan pemandangan alam laut yang begitu indah.
Tiba-tiba ribuan ikan kecil berkumpul seperti menyambut kami. Menariknya kedatangan Adharta dan rombongan ternyata juga disambut suara aneka burung yang terdengar begitu sangat alami diantara pucuk pohon tinggi dan hutan bakau yang mungkin sudah berumur puluhan hingga ratusan tahun.
Tanah Papua memang dahsyat. Adharta tak lupa mengucap syukur. “Terima kasih Tuhan atas berkahMu yang membawa kami tiba di tanah Papua dan bisa menikmati alam yang tiada taranya. Kisah ini memberikan Inspirasi bahwa Para Dewa tentu tidak tinggal diam.
“Tangan-tangan mereka bekerja terus. Mulai dari menghias, mendandani dan merajut. Kelak suatu hari akan memyambut dokter-dokter yang kembali untuk paktik di Tanah Asal para Dewa, Papua. (Gabriel)