Pada 1980an dalam sebuah pertemuan simposium para dokter yang digelar di sebuah hotel di Jakarta, Adharta Ongkosaputra, Ketua Umum Kill Covid-19 ketika itu kebetulan hadir.
“Materi yang didiskusikan adalah bagaimana memajukan ilmu kedokteran dan perawatan Rumah Sakit indonesia agar tidak kalah dengan luar negeri,” tuturnya.
Tampak ada beberapa pembicara saat itu. Namun, Adharta mengaku kini tidak hapal tapi ia masih ingat salah satu pembicaranya adalah Prof Dr Suyudi.
“Kelak beliau menjadi Rektor Universitas Indonesia dan juga menjadi Menteri kesehatan Repuplik Indonesia,” kenangnya.
Adharta menjelaskan, salah satu materi yang dibahas waktu itu adalah perbaikan pelayanan sistem kedokteran di Indonesia agar tidak kalah dengan kedokteran di luar negeri.
“Pada saat yang bersamaan Singapura berlomba lomba membangun rumah sakit mewah dan bergengsi. Sementara (kita terlena dan tidur manis),” ucapnya.
Ketika itu, lanjutnya, kalau berobat ke Singapura sangat murah sekali. Mengapa? karena mata uang kita sangat kuat. Nilai tukar Dolar Singapura setara tiga ratus Rupiah saja.
“Bayangkan kalau ke Metro bisa borong celana jeans branded cuma SGD 10.00 atau cuma Rp3.000 saja saat itu,” ungkapnya.
Nah, lanjutnya, beliau menyampaikan bahwa momentum terbaik agar kedokteran Indonesia bisa maju maka kita harus menciptakan dokter yang andal dan disertai fasilitas yang baik dari Rumah Sakit.
Pada saat itu banyak orang dari luar negeri datang dan sekolah dokter di Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga.
“Sejak saat itu saya senang dan sering membaca dan berdiskusi tentang kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia,” katanya.
Namun, ucapnya, saya terpaksa harus tinggal di Singapura dan berobat di sana karena situasi yang tidak memungkinkan berobat di Infonesia.
Dalam kesempatan ini Adharta memanfaatkan untuk berdiskusi juga dengan dokter-dokter di Singapura dan Malaysia yang nota bene hampir semua adalah orang Indonesia.
“Di Singapura itu kalau tidak salah ada Badan SMC atau Singapore Medical Coucil yang posisinya di bawah MOH. Badan ini menjadi partner para dokter dan Rumah Sakit. Kalau ada komplain pasien maka bisa disampaikan ke mereka dan akan ditindaklanjuti,” tuturnya.
Ada kejadian yang Adharta alami sendiri, yakni mengalami alergi berat sekali. Kalau sedang sakit seluruh badan keluar bisul besar-besar bernanah dan sakit sekali.
Dan, lanjutnya saya pun berobat ke sana. Saat itu ada seorang pasien mirip dengan sakit saya. Pasien itu melakukan protes keras ke dokter karena sakitnya tidak sembuh-sembuh.
Dan dokter tersebut menganjurkan agar pasien boleh protes dengan mengajukan surat protes dan dibantu pembuatannya oleh suster perawatnya.
“Saya juga pikir jangan-jangan saya akan mengalami hal yang sama. Jadi ketika tiba giliran saya periksa, dokter bilang ke saya, bapak ini penyakit orang stres lalu si dokter merekomendasi saya ke psikiater
Adharta merasa kesal dan agak marah dalam hati divonis sakit gila. Tapi dirinya pasrah saja pindah ke dokter psikiater.
“Tidak dikasih obat.Cuma sabun mandi suruh ganti Sebamed batang. Lalu ada terapi baca buku. Terapi warna dan terapi aroma atau wewangian parfum,” ujarnya.
Adharta bersyukur sembuh total. Timbul pertanyaan yang pintar dokter alergi saya atau dokter psikiater?
Kalau situasi ini terjadi di Indonesia mungkin ada masalah besar.
Seperti halnya waktu saya berobat di Singapura sampai ditemukan sakit Thyroid toxicosis dan operasi sampai sembuh.
“Ada benang merah yang perlu kita pelajarI supaya bisa meredam pasien jangan berobat keluar negeri,” katanya.
Pertama
Perlu serempak baik pemerintah, rumah sakit dan Asosiasi Dokter dengan membuat promosi sentimen berobat dalam negeri. “Terlepas baik atau tidak baik pelayanan Rumah sakit atau dokter Pokoknya ketika sakit jangan berobat lke luar negeri tetapi cukup berobat di dalam negeri. Serempak seluruh Indonesia kita getarkan semboyan Bae tida Bae Inonesia Lebe bae. Ini terinspirasi dari lagu Bo lele Bo dari NTT. Kalau ada yang protes biarkan saja, tidak apa-apa. Pekan promosi sudah harus dimulai dari sekarang,” tukasnya.
Kedua
Kemampuan para dokter dan Rumah Sakit mau menerima kritik pasien.
Saya , kata Adharta bahkan sudah sampaikan ke Rumah Sakit yang saya ada di sana bahwa jangan sampai ada pasien masuk dan melakukan protes karena pelayanan. Apalagi , lanjutnya cari beribu alasan untuk membela diri. “Apalagi membenarkan diri dan membuat pasien sakit hati atau bahkan keluar sumpah serapah. Maka, penanganan pasien harus berubah total.Dan yang lebih penting saya mengutip istilah after sales service. Semua Rumah Sakit mutlak harus melakukan after treatment aervice. Contoh ada tim khusus yang selalu memantau kesehatan pasien, menawarkan konsultasi paska perawatan. Kalau perlu kasih ucapan selamat ulang tahun kepada pasien yang sudan keluar rumah sakit saat dia uang tahun,” paparnya.
Adharta berharap perawatan paska perawatan atau Treat after Treatment perlu dilakukan sesegera mungkin.
Ketiga
Masalah biaya Rumah Sakit, biaya obat dab biaya dokter
Apa yang sebenarnya membuat biaya Rumah Sakit mahal ? Adharta menerangkan bahwa jawaban utama pasien sedikit, okupansi rendah sehingga bisa membuat rugi.
Jadi, lanjutnya harus di-harge mahal. “Saya rasa ini sah-ah saja. Tapi solusinya bukan demikian. Masih banyak cara untuk menaiklan income Rumah Sakit tanpa harus menaiklan biaya kepada pasien. Biaya obat-obatan juga demikian. Masih untung Menteri Kesehatan peka. Ingat harga Actemra menyentuh Rp300 juta per vial. Ini tidak bisa terjadi di luar negeri. Biaya dokter mahal relatif sekali. Karena banyak dokter juga yang masih memiliki rasa sosial seperti sahabat saya, dr Gunawan. Tetapi standar bisa dipelajari untuk mengetahui berapa biaya dokter yang pantas. Usulan agar menghapus semua pajak penghasilan seorang dokter dan dokter gigi bisa diajukan. Pajak obat-obatan, pajak apotek, dan pajak Rumah Sakit. Dan secepatnya harus dilakukan oleh asosiasi. Kerja sama dengan birokrasi bisa menghasilkan yang terbaik. Dan saya rasa hal ini sudah dipikirkan oleh Presiden Joko Widodo,” tuturnya.
Keempat
Mencetak dokter dan dokter spesialis
Sebanyak mungkin melalui promosi, bea siswa dan anak asuh.
“Coba bayangkan mau masuk sekolah kedokteran harus tes. Sekolah lain boleh pakai tes masuk. Jadi hanya sekolah dokter saja dibebaskan tes masuk. Masyarakat perlu dokter mengapa justru dihambat. Malah harus bayar Rp500 juta,” terangnya.
Buka sekolah dokter tanpa tes masuk. Biar waktu yang menentukan keberhasilan dokter tersebut. “Biaya masuk fakultas kedokteran dipatok maksimal Ro100 juta. Minimal gratis. Terdengar ekstrim sekali tapi ayo anggaran kesehatan bisa digunakan. Perbanyak sekolah perawat atau Pokrol Bambu untuk menghasilkan asisten dokter sebanyak mungkin. TCM dan tabib, sinsee juga diperbanyak. Karena ini sangat membantu rakyat kecil. Kalau tusuk jarum saya belum bisa komen. Sekolah bidan, sekolah mantri kesehatan. Ya, banyak cara menuju Roma. Kirim dokter sekolah di luar negeri sebanyak mungkin. Kasih bea siswa Saya percaya dalam 5 tahun kedepan wajah Kedokteran, wajah Rumah Sakit kita berobah. Bangun Rumah Sakit sebanyak mungkin namun tetap harus hati-hati agar tidak kurang pasien. Permudah buat izin praktik dan pertahankan izin praktik. Banyak dokter malas praktik karena harus diwajibkan buat SKP (kebijakan ini perlu ditinjau),” paparnya.
Gerakan, lanutnya, pemerhati dokter bisa dibentuk. Bukan dalam komisi tapi satu gerakan membantu pemerintah dalam bentuk LSM atau NGO. Masih banyak cara yang bisa dikerjakan.
“Terakhir saya ingin melihat wajah Rumah Sakit berubah. Contoh sebuah Rumah Sakit di Jakarta Barat dengan semboyan LIKE NO OTHER (Siapa ya),” ucapnya.
Maju terus para dreksi Rumah sakit (Pakai MARS), maju terus para dokter, maju terus para Perawat (ada perawat S 2). (Gabriel)