Adharta Ongkosaputra

Dalam perjalanan liburan ke Malaysia , Ketua Umum Kill Covid-19 sempat mampir di sebuah Rumah Sakit terkenal di Kuala Lumpur.

“Pasiennya saya hitung-hitung ternyata semuanya orang Indonesia. Ada seorang ibu dan bapak. Dan beberapa keluarga. Sepertinya rombongan keluarga. Maka saya bertanya apa alasan memilih berobat ke Malaysia? Jawabannya cukup membuat saya kaget,” tuturnya.

Pertama

Obat-obatan Indonesia tidak manjur dan tidaj bisa dipercaya, banyak palsu dan mahal lagi harganya.
Kedua
Di sini (Malaysia), kata Adharta, sudah disediakan tempat tinggal murah dibandingkan kalau berobat ke Jakarta.

Mana ada Rumah Sakit menyediakan tempat tinggal
sekelas kos-kosan atau flat atau kondominium murah dan dekat rumah sakit. Bahkan, sampai hotel pun dikasih diskon spesial kalau berobat di rumah sakit tersebut.
Ketiga
Dokternya itu pintar banget, halus dan ramah tamah. Malah bisa bahasa Indonesia lancar banget sehinga tidak salah Adharta menduga dokternya orang Indonesia. “Angel wis Angel tutirane!,” katanya.

Adharta mengaku pernah menyapa seorang ibu yang memilih ke Rumah Sakit Malaysia. “Ibu sudah pernah coba berobat di Indonesia. Sudah jawabnya. Dan bikin saya kaget lagi ketika dia bilang setiap kali berobat kami berantem dengan dokter dan juga Rumah sakitnya sebab sama sekali tidak menghargai pasien. Sudah kami sama sekali tidak tahan lagi,” urainya.

Adharta masih penasaran mungkin ada alasan lain ke Rumah Sakit luar negeri.

“Saya coba bertanya lagi pakah ibu berobat sendiri yang lain antar atau berobat ramai-ramai? Dan jawabannya membuat saya kaget lagi. Kami berobat di sini semua sekeluarga, kakek, enek, papa, mama, anak cucu, menantu dan besan .Juga keluarga besan. Saya tidak mengira begitu banyak,” tuturnya.

Apa biayanya tidak mahal. Rupanya, lanjutnya, menjadi tidak mahal jika hasilnya jauh lebih baik dibandingkan Jakarta, Msalnya murah tapi tambah sakit.

Malah ada istilah masuk sehat keluar mati. Rumah sakit tahu istilah itu tapi mbalelo pura pura tidak mau tahu.

“Saya rasa ibu ini belum mewakili yang banyak pasien itu tapi ya sudahlah. Kalau banyak begini ya percaya saja dulu. Nanti di Jakarta saya cerita ke rumah sakit saya. Siapa tahu bisa ada perbaikan supaya orang jangan berobat ke sini atau ke Singapura,” harapnya.

Ada kisah menarik beberapa puluh tahun lalu dirinya bertemu Kwik Kian Gie ketika Kwik masih menjabat menteri.

“Saya kebetulan menjaga cici saya di Rumah Sakit Mount Elisabeth. Dan kamarnya bersebelahan dengan pak Kwik. Jadi kami ngobrol hampir tiap hari. Saya bertanya, oak Kwik sakit apa yang dijawab beliau demam berdarah. Saya heran kok dirawat di Singapura,” urainya.

Bukannya, lanjutnya pakar demam berdarah adanya di Jakarta. Sambil guyon pak Kwik bilang enakan di sini (Singapura).

Karena, ujar Adharta, Kwik Kian Gie tidak diganggu orang yang besuk jadi Kwik bisa istirahat.

Dan, lanjutna juga biayanya lebih murah. Namun, kalau sekarang jatuhnya lebih mahal lantaran kurs dollar Singapura diatas Rp 10.000.

“Saya memiliki pendapat cukup unik bagaimana agar bisa mengarahkan agar pasien mau berobat di dalam negeri saja,” ungkapnya.

Pertama
Bagaimana menurunkan biaya perawatan Rumah Sakit secara signifikan.

“Rumah sakit harus bisa mengubah diri supaya efisiensi tinggi. Demikian pula dokter-dokter harus bisa bebenah diri. Totalitas jangan tunggu aturan diubah jadi terkesan terpaksa ikutan aturan baru. Janganlah begitu,” terangnya.

Berubahnya bagaimana. “Tanyakan kepada rumput yang bergoyang. Kata bung Ebit loh,” ucapnya.

Kedua
Biaya asuransi kesehatan diturunkan drastis tapi bisa meng-cover pengobatan dalam negeri. “Sekarang malah asuransi kesehatan ramai-ramai menaikkan harganya, bisa 20 sampai 30 persen. Alasannya adalah permintaan OJK,” tukasnya.

Saya sendiri, ujar Adharta, di asuransi P mengalami kenaikan signifikan preminya. “Ini juga penyebab larinya pasien keluar negeri lantaran asuransi dil uar negeri murah sekali. Sangat murah. Percaya deh sama saya,” tegasnya.

Jadi, lanjutnya, kenapa pemerintah berusaha mau mencegah orang berobat keluar negeri kok malah asuransi menaikkan Preminya?

Dan ini menyebabkan orang lebih suka tutup asuransi di luar negeri. “Otomatis pengobatannya ya di luar negeri. Selain murah, bergengsi, lebih cepat sembuh. Sementara di dalam negeri malah bikin ruwet,” paparnya.

Apalagi, lanjutnya, ada batasan umur yang tutup asuransi. Yang 70 tahun sudah tidak bisa. Anggota WULAN bagaimana kalau belum punya asuransi.

“Saya anggota WULAN (Warga Usia Lanjut) sedang berjuang untuk orang tua bisa dapat asuransi non asuransi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa diluncurkan. Doakan saja,” harapnya.

Ketiga
Aturan internal rumah sakit lebih disederhanakan. Ini penting. “Bikin saja kayak restoran habis makan bayar beres urusannya dihitung menit. Kalau mau check out Rumah Sakit membuat orang mengelus dada,” ucapnya.

Saya, kata Adharta, pernah minta check out pk 9.00 pagi namun jam 21 baru boleh keluar. “Ini kenyataan jangan dibantah. Jadi prosedur jangan dipersulit
Apalagi ada istilah disandera. Saya jadi malu karena mereferensikan teman masuk rumah sakit X tapo malah jadi ruwet. Mau keluar tidak bisa karena alasan urusan asuransi. Akhirnya dipaksa bayar tunai,” ungkapnya.

Nanti asuransi, lanjut Adharta, membayar ke Rumah Sakit baru uangnya dikembalikan ke keluarga pasien dan tahu sendiri berapa lama.

“Akhirnya saya bilang berobat ke luar negeri saja. Saking keselnya gitu. Kalau saya cerita bisa mempermalukan Rumah Sakit sendiri karena ada kecenderungan fenomena Rumah Sakit takut pasien kabur lantaran tidak bayar. Jadi sudah jelas. Ini harus diubah,” paparnya. (Gabriel)

Leave a Reply

Your email address will not be published.