Adharta Ongkosaputra dan istri
Good bye my love. Seperti lagu Teresa Teng. Begitu kata Adharta Ongkosaputra, Ketua umum Kill Covid-19 yang bersyukur sudah boleh meninggalkan Singapura untuk kembali ke Jakarta setelah menjalankan proses penyembuhan di Rumah Sakit Novena Singapura.
“Sejak roda pesawat Batik Air menyentuh landasan Changi Airport saya mengingat 40 tahun lalu ketika saya membantu pekerjaan pembangunan airport ini pindahan dari airport lama Paya Lebar yang terkenal dengan Satay Corner nya,” ujarnya.
Saat itu, lanjutnya, kondisi Changi kotor sekali kalau datang kerja harus bawa sangu makanan nasi lemak atau Kwetiauw dan kopi atau teh karena tidak ada kantin di sana.
“Kotor banget lokasinyaB. Berbeda langit dan bumi. Sekarang semuanya sudah berubah jadi sangat mewah. Anda bisa menikmati Juwell, mal dalam Terminal 1 dan banyak toko lainnya. Juga restoran. Kalau ada uang SGD di kantung pasti dikuras habis belanja di airport Changi walaupun barang yang dibeli kadang tidak ada gunanya. Pokoknya beli buat senang hati,” tuturnya.
Adharta mengemukakab bahwa selama beberapa hari disibukkan dengan perawatan laboratorium test Echo USG darah lengkap.
“Dan dipastikan saya harus diambil tindakan operasi kateter (no knife operation) di rumah sakit. Hari Jumat jam 15.00 saya sudah dalam teater operasi. Tim dokter yang terdiri dari dr Niko Wanahità, dokter Anastesi, perawat dan tim medis juga sudah siap. Puji Tuhan Jam 18.00 selesai tindakan. Ternyata saya harus dipasang Cutting balon untuk membersihkan plug dalam pembulu darah dan balon untuk memnyuntik obat dan memperlebar pembuluh darah,” terangnya.
Kondisi ini, lanjutnya yang menyebabkan saya sakit dada. Cepat tepat dan gercep tidak banyak buang waktu.
“Saya rasa kita di Indonesia Rumah sakitnya sudah bagus. Dokter semua bagus. Tetapi sistem kerjanya tidak atau masih kurang baik. Kerja sama tim kurang. Banyak waktu terbuang sia-sia. Kerjanya lambat. Mungkin perlu integrated activity management. Belajar CPM (critical path method) dimana bottle neck yang bikin lama di-cut semua. Human touch dimana dokter berperan bersama dan masuk dalam kondisi pasien. Jadi seakan-akan ikut merasakan apa yang dialami pasien,” tuturnya.
Jadi, lanjutnya, jangan hanya berdasarkan wawancara tanya jawab saja atau terpaku ke hasil pemeriksaan laboratorium.
Pastoral Care
Sama seperti mobil baru dibeli tapi tidak ada after sales service. Atur jadwal waktu tepat waktu. Bayangkan kita harus tunggu mau ketemu dokter harus 6 jam bahkan sampai jam 3 atau 4 pagi.
Mengakui kelemahan adalah suatu hal yang baik.
“Saya janji dokter jam 11.00 Saya datang jam 10.30. Tepat jam 11.00 dokter sudah jumpa saya,” ujarnya.
Pastoral Care
Perawatan dengan sistem’ religius. Menyapa pasien, menghormatinya. Kasih kesempatan pasien menikmati perawatan.
Bukan sebagai sebuah cobaan atau keterpaksaan melainkan sebagai berkat Tuhani dimana dokter adalah wakil Tuhan yang mau menyapa kita. Kalau saja semua bisa diatur tidak ada pasien berani marah dokter sebab siapa yang berani marah Tuhan
Human Touch
Yang diperiksa manusia jadi dokter harus bisa menyapa dan mengerti pasien bukan sebaliknya. Jika hal ini dijalankan maka 70 persen sakit pasien sudah sembuh sebelum dilakukan tindakan.
“Setelah siap semua saya masuk ruang teater tindakan kateter. Begitu masuk baik suster dan tenaga medis semua menyapa dengan sangat ramah. Apa bisa dilakukan di Indonesia? Jawabnya bisa tapi tidak mau,” ungkapnya.
“Apakah bapak takut atau khawatir? sapa mereka. Kami semua siap. Kita kawal bapak dengan penyertaan doa. Anda luar biasa loh pak. Banyaksekali pasien di luar mau seperti bapak tapi tidak bisa. Bapak sungguh diberkati Tuhan. Ini semua yang disebut sebagai human touch yang sangat istimewa. Kita dibuat seperti sedang terbang di awang-awang dengan puji-pujian,” paparnya.
Adharta mengaku bersyukur kepada Tuhan diperlakukan demikian istimewa. “Dan hal ini tidak susah kalau mau dilqkukan di indonesia dengan special training. Saya siap bantu,” urainya.
Adharta mengaku sudah keliling beberapa rumah sakit untuk memperkenalkan Pastoral Care tapi hampir tidak ditanggapi. Bahkan, lanjutnya sepertinya tidak pernah dianggap.
“Anggap rumah sakit itu seperti bengkel mobil. Kalau sopir diperlakukan istimewa pasti dia akan bilang bos bengkel ini istimewa lain kali kita ke sini saja. Begitu juga di Rumah sakit, suster-suster didominasi orang Tiongkok dan sedikit Malaysia. Mereka bilang semua pasien (hampir semua) orang Indonesia baik MCU maupun berobat. Saya sedang berpikir bagaimana kalau rumah sakit Indonesia seperti ini”.
“Penuh sekali tetapi pelayanannya tetap baik konsisten dan cenderung merasa seperti home atau berada di rumah sendiri. Mungkin di Indonesia bisa pakai moto Seperti rumah sendiri Your home awayt atau Aku dirawat di rumahku. Akhirnya semua selesai dengan baik saya kembali dengan suka cita. Tuhan baik sekali menuntun saya sampai perawatan selesai. Ini berkat doa dan saran para dokter, profeso, keluarga dan teman-teman serta pastinya anak cucu saya semua,” tukasnya.
“Selamat tinggal Singapura. Banyak cerita tapi saya mohon pamit. Selamat tinggal semua orang yang ku cintai termasuk adik saya drg Monalisa dan suami serta anak-nak yang setia mengantar saya,” tutupnya. (Gabriel)
www.adharta.com
wwwkillcovid.or.id