Pada tahun 1980 silam, Ketua Umum Kill Covid-19 Adharta Ongkosaputra pernah mengalami kecelakaan sepeda motor Vespa di daerah jalan Asia Afrika yang sekarang depan Plaza Senayan

“Kondisi saya cukup parah. Lalu dilarikan ke RS Angkatan Laut Mintohardjo. Di sana saya di geletakin di IGD tanpa perawatan sampai sore hari. Ibu saya datang dan minta dipindahkan le RS Sumber Waras
Jakarta Barat,” katanya.

Hampir sebulan, lanjutnya, saya dirawat di Rumah Sakit dan dibolehkan pulang namun saya dinyatakan kena gegar otak.

Dalam perawatan di rumah semakin hari kondisi saya makin parah. Lemas dan akhirnya lumpuh. “Saya ditangani oleh seorang Profesor Dokter Syaraf yang sangat terkenal saat itu. Tetapi dari hari ke hari says hanya minum obat saraf karena vonis penyakit saraf akibat kecelakaan,” tuturnya.

Adharta mengatakan, pengobatan alternatif juga ditempuh. Bahkan, didoakan para Pastor. Juga ada pengobatan tukang pijit.

“Semua sia sia. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit tapi tidak ada hasil. Setahun telah berlalu begitu kondisi saya tetap parah,” kenangnya.

Dan, suatu hari kakak saya Risal mengusulkan coba Adharta dibawa ke Singapura. “Di Singapura saya cuma ke klinik kecil tetapi Sang dokter bilang ini bukan sakit saraf tetapi saya tidak tahu sakit apa.
Lalu dokter tersebut melakukan konsultasi dengan rekan sejawatnya. Saya masih ingat nama dokter itu S J Ong (almarhum) sampai 3 orang dokter semua tidak menemukan sakit saya,” tuturnya.

Adharta mengaku hampir putus asa. Tetapi para dokter terus berjuang mencari apa sakit saya yang Ini perlu diikuti tindakan.

Akhirnya mereka sepakat membawa saya ke Dokter J A Tambyah (Alm) seorang spesialis penyakit darah. Bersama seorang rekannya juga bernama Dr Ong yang praktIk di Rumah Sakit Mount Elisabeth Orchard.

Hasil pemeriksaan

Mereka memastikan saya bukan sakit saraf tetapi menderita sakit namanya Thyroid Toxicosis sejenis penyakit gondok.

Saya diberi obat NMz dan sejak saat itu saya bisa jalan dan beraktivitas kembali. Kemudian dokter menawarkan agar dioperasi saja tetapi perlu waktu menunggu reaksi obat sampai setahun setengah.

Setelah itu Dr J A Tambyah mengoperasi saya dan sejak saat itu saya berhenti minum obat dan saya sembuh total. Itu menjadi hutang budi saya buat RS Mt Elisabeth dan Dokter Dokter di Singapura khususnya alm Dr J A Tambyah.

“Bulan Maret 2019, saya kena serangan jantung dan harus pasang ring 2 di sebuah Rumah Sakit Jakarta dirawat di ICCU cukup lama,” katanya.

Dalam kondisi kritis sejak itu tubuh saya tidak berdaya lemah dan banyak di kursi roda.

Kisah singkat Desember 2019
Sekali lagi saya mengalami serangan jantung kedua
“Option diambil keluarga. Saya dilarikan Emergency ke Singapura. Langsung masuk Rumah Sakit
Mt Elisabeth Novena,” urainya.

Saya, kata Adharta harus di baloon karena kondisi tersebut. “Seminggu di ICCU saya dirawat dan setelah keluar saya bisa berjalan normal kembali tanpa kursi roda.

Terima kasih Singapura. Terima kasih RS Mt Elisabeth Novena. Terima kasih Dr Nicolas Wanahita (orang indonesia putra Dr Frans Wanahita sahabat saya yang praktek dulu di RS Husada sekarang pensiun tinggal di Amerika Serikat)

Mengapa harus berobat ke luar negeri, Singapura atau Malaysia. “Kisah yang saya alami bisa menjadi studi kasus. Mudah-mudahan akan berguna bagi Rumah Sakit di Indonesia,” terangnya. (Gabriel)

Adharta