Presiden Joko Widodo pernah menyebut bahwa Ada kehilangan devisa karena begitu banyak warga begara Indonesia berobat ke luar negeri.

Ya, bisa dibayangkan satu juta orang berobat Ke Malaysia. Sementara tujuh ratus ribu orang ke Singapura. Dan, dua ratus ribu lebih orang berobat ke Eropa, Amerika Serikat dan Australia sehingga menyebabkan negeri ini kehilangan ratusan triliun rupiah devisa negara.

“Kita juga kekurangan dokter dan dokter spesialis. Saya tidak tahu persis perbandingan jumlah dokter dan jumlah penduduk. Sepertinya dalam catatan saya memang kita kekurangan dokter,” urai Adharta Ongkosaputra, Ketua Umum Kill Covid-19.

Tapi, lanjutnya, justru banyak sekali para pihak yang menghambat proses penciptaan dokter dan dokter spesialis.

Sebagai contoh, sebut Adharta, sebuah universitas di Yogyakarta (tidak saya sebut namanya) mengajukan izin pendirian Fakultas Kedokteran namun sampai hari ini tidak bisa.

Mungkin sudah bertahun-tahun sampai semua pihak merasa putus asa. Bahkan, katanya, jumlah Rumah Sakit juga terasa masih kurang.

Terutama rumah sakit yang berkelas atau baik fasilitasnya seperti di luar negeri (like no other). “Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada saat meresmikan Rumah Sakit Mayapada di Bandung belum lama ini,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Presiden Jokowi, maka Adharta juga ingin memberikan masukan kepada semua pimpinan Rumah Sakit agar segera mengambil sikap
untuk membangun citra masing masing.

Ya, untuk merebut kembali pangsa pasar oasien agar tidak berobat ke luar negeri.

Berikut konsep yang harus diterapkan antara lain:

Perawatan Rumah Sakit dengan dasar
Pastoral Care. “Sistem perawatan dengam dasar Pastoral Care bisa membangun citra Rumah sakit”.

Ada beberapa rumah sakit yang menerapkannya, misalnya dengan moto “merawat pasien disaat sudah sembuh dan di rumah’.

Bagaimana merawat pasien sembuh lebih diutamakan daripada merawat pasien sakit. “Penjelasan khusus tidak bisa saya sampaikan karena terlalu panjang. Tetapi intinya bahwa Rumah Sakit adalah mitra pasien, teman dan sekaligus sahabat pasien,” ungkapnya.

Jadi, lanjutnya, harus benar-benar memberikan kenyamanan, kedamaian dan ketentraman serta kesejahteraan.

Sampai ibarat Rumah Sakit adalah menjadi ‘my Second Home’ atau rumah kedua pasien. “Menjadi sahabat dikala sakit. Bukan sebaliknya. Pasien malah merasa seperti momok yang menakutkan”.

“Kalau saya boleh jujur, saya takut bnaget masuk Rumah Sakit. Tetapi saya sendiri adalah pendobrak semua keluarga. Kalau sakit lebih baik masuk Rumah sakit jangan berobat atau merawat di rumah. Ada yang protes ke saya. Tapi saya sampaikan bawa Rumah Sakit akan lebih baik pelayanan kalau semakin banyak pasien yang masuk. Kalau rumah sakit sepi jangan harap pelayanannya akan bagus,” papar Adharta.

Adapun kunci kesuksesan sebuah Rumah Sakit bukan pada sebaik apa dokter merawat tetapi sebaik apa perawat yang merawat oasien.

“Karena itu tadi Pasien akan merasa Home kalau bertatapan denga perawat-perawat yang handal. Jadi, sebaik apapun dokter yang merawat pasien, maka sia-sialah usahanya kalau perawatnya jutek. Tidak ada senyum. Tidak memberikan suka cita. Perawat harus dididik aedemikian rupa sehingga dia mampu membawa kesan perawatannya tidak berakhir di rumah sakit tapi akan dikenang sampai sudah berada di rumah. Bagaimana caranya boleh ngintip melalui studi banding,” terangnya.

Waktu perawatan juga penting lantaran bagaimana memberikan kesan pasien tidak jenuh atau bosan di rumah sakit.

“Perawatan bertele-tele. Pemeriksaan lama. Dan amit amit kesan Rumah Sakit cari uang semakin lama pasien dirawat. Itu harus dihindari. Kalau memungkinkan ya pasien bisa secepatnya keluar Rumah Sakit. Lebih cepat Lebih baik. Jangan dibuat lebih lama lebih baik,” tuturnya.

Menurutnya, semua pasien mengeluh saat mau keluar rumah sakit. Mau minta kwitansi lamanya minta ampun.

Bisa bisa menginap semalam lagi. Alasan asuransi jiga bisa membuat kesal pasien sehingga harus hati-hati soal ini.

Biaya Rumah Sakit pun mendapat perhatian dari Adharta. Biaya tersebut (diluar yang memiliki asuransi kesehatan).

Rumah sakit jangan meninggalkan kesan mahal. Kalau tidak percaya silakan tes atau uji materi. Sementara harga obat Di Rumah Dakit jauh lebih mahal dari apotek di luar?,” ia berkata.

Harga kamas harusnya dianalisa. Dalam proporsional yang dibebankan kepada pasien dengan optimisime occupancy rate 75 persen.

Jadi, lanjutnya tidak memaksakan okupansi rendah dan cost-ya dibebankan kepada pasien. Biaya-biaya yang diakumulasikan akan terlihat lebih murah dibandingkan dengan berobat ke luar negeri tetapi dalam pelaksanaannya akhirnya malah berobat di luar negeri lebih murah.

Yang paling menyolok adalah biaya laboratorium. Ada satu hal yang menarik didiskusikan masalah obat-obat yang di berikan kepada pasien dan tidak habis dipakai atau tidak cocok tetapi masih dipaksakan harus dibeli oleh 0asien yang akhirnya dibuang karena tidak berguna.

“Ada kasus seorang pasien dipaksa pakai cresemba tetapi tidak jadi nsmun pasien tetap dipaksakan beli obat tersebut. Tapi pasien tidak tahu mau di lapakan. Sedangkan obat Cresemba sangat sangat mahal. (Saya masih banyak obat Cresemba),” tegasnya.

Menurut Adharta, biaya-biaya Rumah Sakit seharusnya bisa dikelola dengan baik. Justru akan menjadi daya tarik pasien Untuk berobat d dalam negeri daripada ke luar negeri.

Yuk cinta Ploroduk Indonesia. Apa yang diucapkan Presiden Joko Widodo sudah sangat tepat. Motivasi berobat dii dalam negeri ibarat promosi kunjungi destinasi wisata di Tanah Air hingga timbul ide medical tourism.

“Yang pernah saya cetuskan beberapa tahun lalu, yakni rasa cinta Indonesia harus dibangkitkann, terutama melalui keeprcayaan rakyat Indonesia terhadap produk Rumah Sakit di Indonesia,” jelasnya. (Gabriel)